SENGKETA
INDONESIA-MALAYSIA ATAS WILAYAH PERBATASAN AMBALAT DIKAITKAN DENGAN
IMPLEMENTASI KONSEP WAWASAN NUSANTARA
BY: I NENGAH PASTAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah perbatasan
wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan
nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai
persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh
palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini
sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai
sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan
letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan
adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara
Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah
Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan
kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum
membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta
implementasi wawasan nusntara, ada baiknya
kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan
untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional
telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah
Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud
kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan
pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar
sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia
hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan.
Pada pihak lain,
Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang
dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis
paralel 4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil
dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional
pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah
juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua
pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan
Sulu). Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa
upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun
1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama. Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui
adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana
ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau
terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar
peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak
memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita
berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan
sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada
tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan
Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat. (Pernyataan Pers
Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan) Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka
diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim
disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung
barat, sabang ke ujung timur, merauke.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah pengertian
Subjek Hukum Internasiomal?
1.2.2
Sebutkan macam-macam
Subjek Hukum Internasional!
1.3 Tujuan
.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian
Subjek Hukum Internasional
Subjek Hukum adalah
pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum Internasional.
Hak dan kewajiban yang diatur Hukum Internasional itu mencakup hak kewajiban
yang diatur oleh hukum Internasional material dan Hukum Internasional formal.
Subjek Hukum Internasional adalah person dalam Hukum internasional. (Sugeng
Istanto, SH Hukum Internasional hal. 23)
Subjek Hukum Internasional dapat diartikan sebagai: - Pemegang segala hak dan kewajiban dalam hukum internasional.
- Pemegang hak istimewa procedural untuk mengadakan tuntutan di depan Mahkamah Internasional.
- Pemilik kepentingan yang diatur oleh Hukum Internasional.
Menurut Prof.
Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai
pemegang segala hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Dengan kata lain
dapat disebut sebagai subjek hukum internasional secara penuh. Mengenai siapa
yang menjadi subjek hukum internasional, dapat dilihat melalui dua pendekatan:
- Pendekatan dari Segi Teoritis
- Hanya negaralah yang menjadi subjek hukum internasional.
Pendapat ini didasarkan pada pemikiran,
bahwa peraturan-peraturan hukum internasional adalah peraturan-peraturan yang
harus ditaati oleh negara-negara, dan traktat-traktat meletakkan kewajiban yang
hanya mengikat negara-negara yang menandatanganinya
- Individulah yang menjadi subjek hukum internasional.
Bahwa yang dinamakan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban negara sebenarnya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
manusia-manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya
dalam negara itu. Negara tidak lain merupakan konstruksi yuridis yang tidak
akan mungkin ada jika tanpa manusia sebagai anggota masyarakat suatu negara.
- Pendekatan dari Segi Praktis
Pendekatan
ini berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai keadaan
masyarakat internasional masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Kenyataan
yang ada tersebut timbul karena sejarah, desakan kebutuhan perkembangan
masyarakat hukum internasional, maupun memang diadakan oleh hukum itu sendiri..
Subjek hukum internasional tersebut adalah:
2.2
Macam-macam subjek hukum internasional
Ada dua teori tentang
subjek hukum internasional memang berbeda-beda satu samalainnya. Yang satu
menyatakan bahwa yang merupakan subjek hukum
internasional hanyalah negara,yang lain menyatakan bahwa yang merupakan
subjek hukum internasional hanyalah individu.
Teori yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional
hanyalah negara karena hak dan kewajiban yang diatur hukum internasional adalah
hak dan kewajiban negara.adanya ketentuan hukum internasional yang mengatur
individu tidak berarti mendudukan individu tersebut sebagai subjek hukum
internasional.ketentuan hukum internasional itu mengatur individu sebagai objek
hukum internasional.ketentuan hukum internasional mengenai bajaklaut “jure
gentium”misalnya adaaalah ketttentuan hukum internasional yang mengatur hak
negara untuk menghukum bajak laut tersebut. Demikian juga ketentuan hukum
internasional tentang budak belian adalah ketentuan hukum internasional yang mengatur
kewajiban negara untuk melindungi budak belian itu.
Teori yang menyakan
bahwa subjek hukum internasional hanyalah negara di kemukakan oleh Kelsen.
Menurut teori ini negara merupakan pengertian abstrak. Negara merupakan konsep
hukum teknis untuk menunjuk sekumpulan ketentuan hukum yang berlaku pada
sekelompok orang yang ada disuatu wilayah tertentu. Negara adalah samadengan
hukum.hak dan kewajiban negara dengan demikian sebenarnya merupakan hak
kewajiban orang-orang yang membentuknya.hukum internasional mengikat individu
secara tidak langsung.
Starke menyatakan bahwa
dari segi teori murni,teori Kelsen adalah benar. Namun dari segi praktik
,sebagian besar ketentuan hukum internasional mengatur hak kewajiban negara.
Sebagai pengecualian beberapa perjanjian internasional juga megatur hak
kewajiban individu,misalnya konvensi Jenewa tahun 1949 tentang tawanan peran.
Konvensi ini mengikat individu secara langsung .
yaitu
Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut
Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak
malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal
Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan
gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua
perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan
asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak
dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian
konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di
Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979
yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa
"Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta
itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap
peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala.
Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan
minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes
dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia.
Malaysia semula
mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas
pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya
sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah
"dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal
penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik,
Kaltim. Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah
mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada
peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri
Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan
Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia
bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai
Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau
status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982. Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai
tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai
demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan
perang terbuka.
Ada beberapa sikap
masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama,
sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh
kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit
hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini
ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia".
Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat
sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan
sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap
ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan
kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim
teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia.
Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan oleh berbagai komponen
gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan
harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik
neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang
terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut
dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya
merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang
terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi
sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara
perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak
dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL
(Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah
Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,
yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat
politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan
"pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk
memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat.
Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan
kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik
intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik
melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan
kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak
akhir kekuasaan Orde Baru.
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan
merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan
usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi
Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958
selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai
pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus
menancapkan hegemoninya di wilayah laut. Sementara itu
jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai
negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik
Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang
wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda.
Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan
Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil.
Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang
menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau
Kalimantan dan Pulau Jawa. Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan
melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian
diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi
negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982. Dimasukannya
poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi
seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun
secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara
kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting
dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi
Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP
MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan
kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan. Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya
konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh
kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang
kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan,
pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan
(archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan
(straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga
wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan
Indonesia.
2.3
Solusi Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi
Wawasan Nusantara
Lepasnya
Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya
juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera
menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara
kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi
Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur
tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah
meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Namun, ratifikasi KLH 1982
ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah
tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan
nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia,
karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan
dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam
Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan. Rezim
hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan
susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan
dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata
dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat
merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara
kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi
kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun
"yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia. Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah
Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk
geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari
17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan
amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia
berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia".
Penetapan
batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat
dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939)
Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan
negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia,
semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai
satu kesatuan yang bulat. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia
(deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi
nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk
memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat
internasional. Deklarasi Juanda 1957
mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya
terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand
dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara.
Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya
Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Tapi
dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi
dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land
based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward looking.
Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national
security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan
kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos
pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya
sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem
peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan,
Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan
orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam
menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola
yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam
Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa
diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator,
arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan
menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan
semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina
dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak
ke Indonesia. Bila perundingan
bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di
mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989,
setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis
batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint
development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang
disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari dunia
dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain. Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya
karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita
tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara
diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6
juta kilometer persegi.
Dengan
demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East
Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia
diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk
ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus
segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan
PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam
penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat
mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan,
tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika
terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara
bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin
persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai. Sebuah
sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat,
harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional
yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia. Berkaitan dengan
masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan
solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap
warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.
Mengerti, memahami, dan
menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan
Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air
berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.
Mengerti, memahami, dan
menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan
konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki
wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih
jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan
tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia
harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan
satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaa.
BAB II
PENUTUP
1.1
Simpulan
Dari penulisan makalah
diatas ada beberapa kesimpulan ynag dapat ditari yaitu:
1.
sengkeat internasional
menyangkut sengketa antar negara dan negaran dan individu, negara dan korporasi
asing serta sengketa antar negara dan kesatuan kenegaraan bukan negara. Permasalahan
yang disengketakan dalam suatau Sengketa internasional menyangkut banyak hal. wawasan
nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang
dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan
kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
2.
Mengenai sengketa
indonesia-malaysia atas wilayah amabalat dikaitkan dengan konsep wawasan
nusantara. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara
Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta
implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah
perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu
sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah
perbatasan di wilayah Ambalat. Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah
perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan
Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil.
Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok"
Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi.
3.
Solusi mengenai kasus
Indonesia-Malaysia atas wilayah perbatasan ambalat dikaitkan dengan konsep
wawasan nusatara. Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada
beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya
seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional
bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif,
misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat,
Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia
punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam,
Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut
semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia. Bila perundingan bilateral menemui
jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk
pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun
menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di
Celah Timor
1.2
Saran
Dari penulisan makalah
yang berjudul sengketa Indonesia-Malaysia atas wilayah perbatasan ambalat
dikaitkan dengan implementasi konsep wawasan nusantara, diharapkan kita sebagai
generasi muda bangsa yang akan menyongsong kehidupan bangsa kedepanya dapat
memahami sengketa internasonal. Selain itu diharapkan dapat bermanfaat bagi
kita semua, untuk berpikir keritis terkait wilayah-wilayah indonesia agar
kejadian seperti pengkelaiman wilayah tidak terjadi lagi dengan berpegang teguh
pada konsep wawasan nusatara.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumastanto,
Tridoyo. Ambalat dan Diplomasi Negara Kepulauan
Republik Indonesia. CV. Chitra Delima, Jakarta.
Istanto Sugeng, S.H.,2000, Hukum
Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
http://en.wikipedia.org/wiki/world_wawasan nusantara (di akses tanggal 26 desember 2010)http://en.wikipedia.org/wiki/sengketa Indonesia-Malaysia (di akses tanggal 26 desember 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar