PENYELESAIAN SENGKETA DIDALAM
DAN DILUAR PENGADILAN (NONLItigASI,
LIGITASI)
BY: I NENGAH PASTAMA
BY: I NENGAH PASTAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang
Dalam
era global seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless),
orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting
dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi
dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu
hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa
sengketa mulai dikenal sejak adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di
situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sengketa ini dapat berwujud
sengketa antara sesama rekan bisnis, antarkeluarga, antarteman, antara suami
dan istri, dan sebagainya. Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini
perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa
tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh
adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau
tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaiakan
sengketa yang disediakan oleh negara adalah “Pengadilan”, sedangkan yang
disediakan oleh lembaga swasta adalah “Arbitrase”. Penyelesaian sengketa di
luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute
Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa
dengan jalan Nonlitigasi?
1.2.2
Bagaimanakah alternative penyelesaian
sengketa di dalam pengadilan?
1.2.3 Bagaimanakah cara penyelesaian
sengketa dengan jalan litigasi?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui cara penyelesaian
masalah diluar pengadilan (Nonklitigasi)
1.3.2
Untuk mengetahui alternatif penyelesaian
sengketa diluar pengadilan.
1.3.3
Untuk mengetahui cara penyelesaian
masalah di dalam pengadilan (Litigasi)
1.4 Manfaat
Kita
sebagia masayarakat dengan di liputi dengan masalah, seperti kita ketahui dimana
ada manusia disitu pasti ada suatu
sengketa. Manfaat mempelajari nonlitigasi dan litigasi yaitu dapat
mengetahu dan memahami mengenai penyelessaian masalah diluar pengadilan dan
didalam pengadilan. Jadi dengan mempelajari hal tersebut jika kita didalam kehidupan
bermasyarakat menemukan suatu sengketa dapat mamahami jalan apa yang harus
ditempuh dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENYELESAIAN SENGKETA DILUAR
PENGADILAN (NONLITIGASI)
- Pengertian Nonligitasi
Ligitasi
dalam bahasa inggris artinya pengadilan. Jadi nonligitasi adalah penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Sebagai bahan banding ligitation(pengadilan),
sebagaian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan
putusan atas sengketa warisan, perbuatan melawan hukum dan lain-lain dan
sebagian kecil tugasnya tugasnya adalah penangkalan sengketa dengan penjatuhan
penetapan pengadilan misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat, dan
lain-lain. Nonlitigasi sebagai kebaliakan dari litigasi tugasnya (argumentum
analogium) adalah untuk penyeleasian masalah diluar pengadilan (tentram damai)
dan sebagaian kecil tugasnya penangkalan sengketa dengan
perencangan-perrancangan kontrak yang baik. Artinya bahwa semua sengketa yang
dapat di selesaikan tanpa melalui pengadilan atau penangkalan sengketa yang
dapat dilakukan dengan ikatan hukum tanpa melalui pengadilan adalah
keterampilan nonligitasi. Penyelesaian sengketa atau penangkalan secara
nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dapat diseleesaikan secara hukum. Perlu di ketahui bahwa, hukum
bukan satu-satunya bentuk penyelesaian sengketa. Terkadang dapat bahkan
tidak jarang berbagai sengketa dapat diselesaikan dengan cara lain. Dalam hal
ini penagihan hutang dapat di golongkan kepada penyelesaian masalah secara
nolitigasi, karena penyelesaian masalah seperti itu tidak didasarkan pada
hukum. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaiian masalah
diluar pengadilan yang didasarkan pada
hukum, dengan penyelesaian tersebut dapat digolongkan kepada penyelesaian yang
berkualitas tinggi, karena sengketa dapat selesai tuntas tanpa menninggalkan
sisa kebencian dan dendam.
Orang
dapat saja menyelesaikan masalah premanisme dan premanisme memperkosa nurani
sehingga luka nurani menyisakan dendam, sebagai persoalan dapat berpihak-pihak
persoalan yang didalamnya tidak
mustahil bayak berisi sengketa hukum baru. Pembalasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang yang
dipremanisme dapat menimbulkan perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan yang
merupakan sengketa hukum baru yang harus deselesaikan dengan hukum.
Penyelesaian sengketa hukum secara nonlitigasi denagn cara-cara penerapan hukum
dengan meyakiankan kepada para pihak bahwa hukum itun adalah cara paling
bermoral dalam penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian yang dapat menuntaskan
sengketa tanpa menyeksa dendam yang apat menimbulkan nkekacauan dalam
masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian sengketa denagn nonlitigasi,
menyelesaikan masalah hukum, secra hukum dan nurani, sehingga disitu hukum
dapat di menangkan dan nurani orang juga
tunduk untuk menaati kesepakatan atau perdamaian secara sukarela, tanpa ada
merasa kalah. Aplikator nonlitigasi
harus selalu meningkatkan kepada para pihak yang membuat perjanjian dalam
menyelesaikan masalahnya bahwa perjanjian harus dilaksanakan secar konsikuen
oleh para pihak, jika tidak dilakukan demikian maka perjanjian itu menjadi
batal, atau masalah menimbulkan sengketa dan bukan menyelesaikan sengketa. Maka
perdamaian diluar pangadilan yang lebih di tekankan yaitu bagaimana sengketa
hukum dapat diselesaikan dengan cara perdamaian dan diluar pangadilan dan
perdamaian itu mempunyai kekuatan untuk dijalankan. Bagaimanapun juga
perdamaian diluar pengadilan adalah suatu
perjanjian yang apabila dijalankan
secara serta-merta maka persoalan yang di damaikan menjadi selesai,
sedangkan jika tidak dijalankan secara serta-merta maka perdamaian itu
merupakan perjanjian yang akan dilaksanakan di kemudian hari. Persoalannya jika
perdamaian dilakukan di kemudian hari, oleh salah satu pihak atau kedua pihak
tiadak mau menjalankan, maka perdamaian itu menjadi tanpa makna dalam
pelaksanaannya secara nonlitigasi, tetapi jika para pihak akan membawa ke
litigasi, maka perdamaian itu menjadi bukti kepada para pihak sebagain
Undang-Undang (1338 KUH perdata). Hakim yang menangani perkara perdamaian diluar
pengadilan yang tidsk dijalankan akan
berpedoman kepada isi perdamaian itu dalam mengadili perkaranya. Dengan
demikian pbentuk penyelesaian sengketa secara nonlitigasnatau diluar pengadilan
adalah kesepakatan tertulis, isinya perdamaian yang mungkin di laksanakan
seketika setealh perdamaian dicapai atau pula menunggu waktu untuk dilaksanakan
pada saatnya. Selain itu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat
dilakukan dengan Arbitrase.
2.2 BERBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN.
1. Konsultasi
Meskipun
konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang
Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian
sengketa, namun tidak ada satu pasalpun yang menjelaskannya. Dengan mengutif
Black’s law Dictionary, Gunawan dan Widjaya dan Ahmad Yani7) menguraikan bahwa
pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara
suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang
merupakan konsultasi”, yang memberikan
pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti
pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan
pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya
keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh
para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk
merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak
yang bersengketa tersebut.
2. Negosiasi dan Perdamaian
Menurut
pasal 6 ayat 2 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat
berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka.
Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam
bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan
perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana
perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara
yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana
harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namaun ada beberapa hal
yang membedakan, yaitu: Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian
paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam
bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa.
pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. Perbedaan
lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan
perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan
maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
3. Mediasi
Berdasarkan
pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis
para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang
atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para
pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik,. Kesepakatan tertulis wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30
(tiga puluh) hari sejak pendaftaran.Mediator dapat dibedakan:
•
mediator yang ditunjuk secara
bersama oleh para pihak
•
mediator yang ditujuk oleh
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk
oleh para pihak.
4. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti
pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas,
konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang nomor 30 tahun
1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan
adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan.
Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap
tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah
diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)
5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Pasal
52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase
atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya
merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan
dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999: “Lembaga Arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa.” Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat
mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan
pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan
terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap
perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat
dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
6. Arbitrase
Keberadaan
arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah
lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia
bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het
Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten
(RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of
de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku
lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang
Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan
arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi dari Pengadilan. Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30
tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat
berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: Klausula arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa
(Factum de compromitendo) atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis). Objek perjanjian arbitrase
(sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase
dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat
1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Adapun
kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu
ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang
dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851
s/d 1854. Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca
beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan
pranata peradilan.\
Keunggulan itu adalah:
dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang
disengketakan, jujur dan adil para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan Menurut
Prof. Subekti9) bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat
arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia
dilakukan:
• dengan cepat
• oleh ahli dari
• secara rahasia
• oleh ahli dari
• secara rahasia
Sementara
itu HMN Purwosutjipto10) mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit
(arbitrase) adalah:
• Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
• Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
• Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
• Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
• Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
• Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
• Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
• Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
2.2 PENYELESAIAN
SENGKETA DI DALAM PENAGADILAN (LIGITASI)
v PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN
1.
Penetapan sidang dan pemanggilan pihak-pihak
Setelah
gugatan diajukan dan didaftarkan oleh panitera dalm suatu daftar, maka ketua
pengadilan negeri yang bersangkutan memeriksa perkara tersebut, menetapkan hari
persidangan dan memnaggil kedua pihak supaya hadir pada persidangan yang telah
ditetapkan. Kedua belah pihak hadir dengan saksi-saksi yang mereka kehendaki
untuk diperiksa dan membawa segala surat keterangan yang akan dipergunakan
(pasal 121 ayat (1) HIR/145RBg).
Pemanggilan
pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti
dengan menyerahkan surat panggilan. Dalam melakukan pemanggilan tersebut,
jurusita atau jurusita pengganti harus bertemu dengan yang di panggil di
rumahnya dengan bertemu secra langsung tetapi jika tidak dapat bertemu secara langsung
jurusita dapat memberikan surat pemanggilan kepada kepala desa setempat (pasal
390 ayat (1) HIR/718 ayat (1) RBg). Kalau tergugat sudah meninggal dunia maka
surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya dan apabila ahli warisnya
tidak diketahui maka surat panggilan dapat disampaikan kepada kepala desa
kembali di tempat terakhir tergugat yang meninggal dunia. Setelah melakukan
panggilan, jurusita harus menyerahkan
risalah(relas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara, yang
merupakan bukti bahwa panggilan benar-benar telah dilakukan. Hal ini sangat
penting bagi hakim karena apabila pihak-pihak yang dipanggil secara patut dan
kemudian dengan alasan yang tidak sah tidak hadir dalam persidangan, maka hakim
dapat menjatuhkan putusan (karena ketidakhadiaran pihak tergugat maupun
penggugat)
2.
Sita
jaminan
Sita
jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan pengadilan di dalam perkara perdata di kemudian hari. Sebab dengan
dilakukan sita jaminan terhadap sesuatu barang baik barang bergerak maupun
tidak bergerak, maka barang tersebut disimpan untuk jaminan dan tidak boleh
dijual belikan, dibebani, maupun disewakan oleh orang yang tersita
(tergugat) kepada orang lain (pasal 199
HIR/214 RBg). Apabila ini dilanggar maka dapat dikatakan sebagai tindak pidana
(pasal 231 KUH Pidana) Permohonan
penyitaan dalam praktek lazimnya diajukan penggugat dalam surat gugatan
bersama-sama dengan tuntutan pokok. Penyitaan dilakukan oleh jurusita/jurusita
pengganti sebagai pelaksana perintah yang dituangkan dalam ketetapan yang
dibuat Ketua Pengadialn Negeri. Jurusita wajib membuat surat berita acara
penyitaan yang telah dilaksanakan dan memberitahukan isinya kepada tergugat
(tersita). Dalam penyitaan tersebut jurusita dibantu oleh dua orang saksi yang
turut dalam menandatangani berita acara (pasal 65 UU No. 2/1986) Permohonan penyitaan
dari penggugat memang tidak selalu dikabulkan kecuali permohonan tersebut mamng
benar-benar beralaskan menurut hokum, bilamana permohonan penyitaan dikabulkan
dan kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan maka sita jaminan
yang dilakukan oleh pengadilan dinytakan sahdan berharga dalam putusan. akan
tetapi bilamana kemudian ternyata gugatan penggugat ditolak, maka sita jaminan
tersebut diperintahkan untuk segera dicabut (pasal 227 ayat (4) hir/261 ayat
(6) rbg).
3 Putusan
karena tidak hadir pada sidang pertama
Apabila pada siding yang telah
ditentukan ternyata penggugat tidak hadir tanpa alasan yang tidak dapt
dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, maka hakim dapat
menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan dan menghukum penggugat membayat bisys
perkara (pasal 124 HIR/148 RBg). Namun hakim dapat pula member toleransi yaitu
memerintah jurusita untuk memanggil sekali lagi tergugat tersebut (pasal 126
HIR/150 Rbg).
Gugatan melawan hokum artinya gugatan
itu bertentangan dengan hokum atau tidak berdasarkan hukum yaitu apabila
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan tidak membenarkan tuntutan (Pentium). Misalnya A menggugat B agar
membayar utangnya karena kalah dalam suatu perjudian. Gugatan A terhadap B ini
bertentangan dengan hokum, kerena peristiwa yang menjadi dasar gugatannya
tersebut adalah perjudian tidak membenarkan tuntutannya (pasal 1788 BW),
karenanya gugatan A tersebut harus
dinyatakan tidak dapat diterima. Juga
dikatakan bertentangan dengan peraturan hokum bilamana kedudukan penggugat
tidak dibenarkan menyajukan gugatan. Misalnya seorang anak yang belum dewasa
mengajukan gugatan di pengadilan, sebab menurut peraturan hokum, seorang anak
yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hokum,dalam hal ini
mengajukan gugatan dipengadilan. Putusan yang menyataklan putusan tidak dapat
diterima dimaksudkan sebabgai penolakan diluar pokok perkara. Sedangkan putusan
yang menyatakan gugatan ditolak merupakan putusan setelah mempertimbangkan
mengenai pokok perkara, jadi diantar putusan tersebutb mempunyai perbedaan yang
besar dan konsekuensi yang berlainan. Dalam putusan verstek gugatan penggugat
tidak selalu dikabulkan oleh pengadilan negeri, yaitu apabila gugatan penggugat
melawan hokum atatu tidak beralaskan, sehingga meskipun tergugat tidak hadir
dalam persidangan tidak selalu dikalahkan.
Apabila ternyata putusan verstek
mengabulkan gugatan penggugat. Maka putusan tersebut harus diberitahukan kepada
tergugat bersangkutan serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan
perlawanan (verset) terhadap putusan versyek itu kepada pengadilan negeri yang
memeriksa perkara tersebut. Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan
dalam tenggang waktu 14 hari setelah pemberiyahuan diterima tergugat pribadi. Perlawanan (verset) terhadap putusan verstek
diajukan seperti mengajukan gugatan biasa. Tergugat yang mengajukan perlawanan
disebut pelawan sedangkan penggugat disebut terlawan. Pemeriksaaan terhadap
putusan perkara perlawanan sama seperti perkara biasa, dengan adanya
perlawqanan ini eksekusi ditangguhkan, kecuali putusan verstek itu dapat
dijatuhkan dengan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu. Jika dalam
acara perlawanan penggugat tidak datang dalam persidangan yang ditentukan, maka
hakim dapat memerintahkan jurusita untuk memanggilnya kembali untuk menghadiri
persidangan yang berikutnya dan apabila penggugat tidak juga datang maka
perkara akan diperiksa dan diputus secara contradictoir. Dengan membatalkan
putusan verstek semula serta mengadili lagi dengan menolak gugatan penggugat
semula.
4. Perubahan dan pencabutan gugatan
Masalah perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR maupun RBg, akan
tetapi diatur dalan Rv yang berlaku bagi golangan eropah pada Raad van justitie
dulu. Dalam pasal 127 Rv ditentukan bahwa perubahan gugatan sepanjang
pemeriksaan diperbolehkan, asal tidak mengubah dan menambah onderwerp van den eis (pentitum-tuntuan
pokok). Akan tetapi didalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar dari tuntutan
(posita),termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jadi yang
tidak boleh dirubah adalah dasar tuntutan dan menambah tuntutan.
Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur mengenai
soal perubahan gugatan atau penambahan gugatan, namun tidak berarti perubahan
gugatan tidak diperbolehkan. Hakimlah yang menentukan sampai dimana perubahan
gugatan diperbolehkan. Dalam putusan tanggal 6 maret 1971 No. 209 K/Sip/1970
Mahkamah Agung menyatakan, bahwa perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan
dengan asas-asas hokum acara perdata, asal tidak mengubah dan menyimpang dari
kejadian material walaupun tidak ada tuntutan subsidair: untuk peradilan yang
adil. Seperti halnya perubahan gugatan tidak ada diatur dalam HIR maupun RBg,
maka tentang pencabutan gugatan juga
tidak ada diatur dalam HIR dan maupun
RBg. Pencabutan gugatan hanya diatur dalam Rv pada pasal 271, yang
menentukan bahwa gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergugatmemberikan
jawaban. Bilaman tergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan tidak dapat
dicabut atau ditarik kembali oleh penggugat kecuali disetujui oleh penggugat.
Tujuan dari ketentuan pasal 271 Rv ini adalah untuk menjaga kepentingan
tergugat jangan sampai dirugikan.
Pencabutan gugatan sebelum tergugat
memberikan jawaban seringkali terjadi atas saran ketua pengadilan negeri karena
ada kekeliruan dalam menyusun gugtan tersebut. Sedangkan pencabutan gugatan
sesudah tergugat memberikan jawaban, sering kali terjadi karena tuntutan
penggugat telah dipenuhi tergugat secara suka rela. Penggugat yang mencabut
gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban, dapat mengajukan gugatannya
kembali. Sedangkan penggugat yang mencabut gugatannya sesudah tergugat
memberikan jawaban, tidak dapat lagi mengajukan gugatannya, karena dengan
pencabutan gugatan itu penggugat dianggap telah melepaskan haknya.
5. Perdamaian di depan sidang
pengadilan
Apabila pada hari yang telah ditentuakn
pihak-pihak ynag berperkara hadir di persidangan, maka menurut pasal 130 ayat
(1) HIR/154 ayat (1) RGb, hakim diwajibkannuntuk mengusahakan perdamaian
diantara mereka. Dengan adanya ketentuan tersebut hakim mempunyai peranan yang
aktif untuk mengusahakan penyelesaian secara damai terhadap perkara yang
diperiksanya, menanamkan kesadaran dan keyakinan pihak-pihak yang
erperkarabahwa npenyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan suatu cara
penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana daripoada diselesaikan dengan
putusan peradilan. Baik dipandang dari segi hubungan masayrakat dan dari segi
hubungan waktu, b iaya dan teanaga yang digunakan. Apabila tercapai perdamaian
antara pihak-pihak yang berperkara tersebut, yang biasanya dituangkan dalam
perjanjian di bawah tangan, maka berdasarkan perdamaian tersebut hakim
menjatuhkan putusan (acte van vergelijk) yang isinya menghukum pihak-pihak yang
berperkara untuk melakukan isi perdamaian tersebut. Dengan adanya perdamaian
diantara pihak-pihak yang berperkara maka perkara tersebut dianggap tuntas,
sebab putusan perdamaian nyang disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara dan
disahkan oleh hakim mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan dan
mempunyai kekuatan hokum yang tetap (pasal 130 ayat (2) HIR/154 ayat (2) Rbg/
1858 ayat (1) BW jo. MA, tgl 1-8-1973 No. 1038 K/sip/1972)
6. Eksepsi,
jawaban dan rekonpensi
Oleh
karena perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak yang
berperkara, maka dalam undang-undang tidak ada ketentuan yang mewajibkan
tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Akan tetapi apabila tergugat tidak
memberikan jawaban apa pun terhadap gugatan penggugat, maka ia harus menyadari
bahwa ia harus memikul segala akibat dari sikapnya yang demikian itu, yang
memungkinkan sekali dikalahkan. Jawaban
tergugat dapat berupa pengakuan dan dapat pula berupa bantahan atau
penyangkalan. Pengakuan berarti
membenarkan isi gugatan penggugat baik sebagian maupun keseluruhan. Sedangkan Bantahan atau penyangkalan berarti
menolak atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat. Jawaban tergugat dapat
terdiri dari 2 macam, yaitu : (1) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut eksepsi (tangkisan) dan (2) Jawaban yang
langsung mengenai pokok perkara.
Eksepsi (tangkisan) dapat dibagi atas 2 macam yaitu eksepsi prosesual dan
eksepsi material. Eksepsi prosesual adalah eksepsi yang didasarkan pada hukum acara
perdata. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya eksepsi yang menyatakan hakim
tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat; eksepsi yang
menyatakan bahwa perkara yang diajukan penggugat sudah pernah diputuskan oleh
hakim, kemudian eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat, dan
lain sebagainya.
Eksepsi material
adalah eksepsi yang didasarkan pada hukum perdata material. Termasuk dalam
eksepsi ini antara lain adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat
belum sampai waktunya untuk diajukan (dilatoire exceptie), jadi eksepsi yang
bersifat menunda. Kemudian eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya
gugatan penggugat (peremtoire exceptie), misalnya eksepsi yang menyatakan bahwa
piutang yang dituntut oleh penggugat sudah hapus karena pembebasan, atau karena
kompensasi pembayaran dan lain sebagainya.
Bilamana eksepsi ditolak atau dibenarkan, maka dalam putusan sela
dinyatakan bahwa Penggadilan negeri yang bersangkutan berwenang memeriksa
gugatan tersebut, dan dalam putusan itu sekalian diperintahkan agar para pihak
yang berperkara melanjutkan perkaranya. Jawaban tergugat mengenai pokok
perkara, tidak harus diajukan bersama-sama dengan eksepsi pada permulaan
sidang, akan tertapii selalu dapat dikemukakan selama proses pemeriksaan
berjalan, bahkan dapat diajukan pada waktu pemeriksaan tingkat pertama. Pasal
136 HIR yang sama isinya dengan pasal 162 RBg tidak mengharuskan supaya pada
permulaan sidang jawaban tergugat sudah mengenai pokok perkara dengan atau
tidak dengan eksepsi.
7. Replik dan duplik
Setelah
tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan perkara perdata di
Pengadilan Negeri selanjutnya adalah replik,yaitu
jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga
dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan pleh
penggugat untuk meneguhkan jika gugatan itu melawan hukum (onrechtmatige daad)
atau tidak beralasan (ongegrond). Apabila gugatan penggugat melawan hukum atau
tidak berdasarkan hukum, maka dalam putusan verstek gugatan itu harus
dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Kemudian apabila
gugatan penggugat tidak beralasan, maka dalam putusan verstek gugatan tersebut
harus dinyatakan ditolak (ontzegd). Gugatan
melawan hukum artinya gugatan itu bertentangan dengan hukum atau tidak
berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan
tidak membenarkan tuntutan (petitum). Misalnya A menggugat B agar membayar
utangnya karena kalah dalam berjudi. Gugatan A terhadap B ini bertentangan
dengan hukum,karena peristiwa yang menjadi dasar gugatannya yaitu perjudian
tidak membenarkan tuntuntannya (pasal 1788 BW). Karenanya gugatan A tersebut
harus dinyatakan tidak dapat diterima. Juga dikatakan bertentangan dengan
peraturan hukum bilamana kedudukan penggugat tidak dibenarkan mengajukan
gugatan. Gugatan tidak beralasan apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa
yang membenarkan tuntutan, atau peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar
gugatan tidak ada hubungannya dengan tuntutan. Dengan kata lain
peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak terbukti secara
sah menurut hukum. Misalnya A menggugat B supaya membayar harga barang yang
dibelinya sebesar Rp. 1.000.000. Akan tetapi di persidangan, A tidak mengajukan
hal yang memberikan gambaran atau membuktikan bahwa antara A dan B telah
terjadi suat perjanjian jual-beli. Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat
diterima dimaksudkan sebagai penolakan gugatan di luar pokok perkara. Sedangkan
putusan yang menyatakan gugaran ditolak merupakan putusan setelah
mempertimbangkan mengenai pokok perkara. Jadi antara kedua macam putusan itu mempunyai perbedaan yang besar sekali dan
konsekuensi yang berlainan.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Nonligitasi
adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagai bahan banding
ligitation(pengadilan), sebagaian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa
dengan menjatuhkan putusan atas sengketa warisan, perbuatan melawan hukum dan
lain-lain dan sebagian kecil tugasnya tugasnya adalah penangkalan sengketa
dengan penjatuhan penetapan pengadilan misalnya penetapan wali, penetapan anak
angkat, dan lain-lain. Nonlitigasi sebagai kebaliakan dari litigasi tugasnya
(argumentum analogium) adalah untuk penyeleasian masalah diluar pengadilan
(tentram damai) dan sebagaian kecil tugasnya penangkalan sengketa dengan
perencangan-perrancangan kontrak yang baik. Berbagai alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan antara lain, konsultasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, namun tidak ada satu pasalpun
yang menjelaskannya. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana
diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang
bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Pemanggilan
pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti
dengan menyerahkan surat panggilan. Dalam melakukan pemanggilan tersebut,
jurusita atau jurusita pengganti harus bertemu dengan yang di panggil di
rumahnya dengan bertemu secra langsung tetapi jika tidak dapat bertemu secara
langsung jurusita dapat memberikan surat pemanggilan kepada kepala desa
setempat (pasal 390 ayat (1) HIR/718 ayat (1) RBg.
3.2 Saran
Saran
yang dapat penulis sampaikan dalam penyusunan makalah ini yaitu:
- Bahawa setiap perkara yang terjadi diantara dua pihak atau lebih dapat juga di selesaikan diluar pengadilan dengan jalan negosiasi, kompromi, sebelum perkara itu diajukan kepengadilan.
- Apabial suatu perkara tidak dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian (nonligitasi) perkara tersebut dapat diselesaikan dengan menempuh jalur hukum, sehingga menemukan keputusan yang benar-benar adil oelh pihak yang berperkara.
DAFTAR PUSTAKA
Syahrini
Riduan. 1988. Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Umum. Jakarta; Pustaka
Kartini.
Wiryawan
Wayan dan Artadi Ketut. 2009. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan. Udayana
University press.
http://blogspot.com Peyelesaian sengketa.html