Pengikut blog

Senin, 29 Oktober 2012

MAKALAH HUKUM PERJANJIAN



PENYELESAIAN SENGKETA DIDALAM DAN DILUAR PENGADILAN (NONLItigASI, LIGITASI)
BY: I NENGAH PASTAMA


BAB I

PENDAHULUAN

                  1.1  latar Belakang
Dalam era global seperti sekarang ini dunia seolah-olah tanpa batas (borderless), orang bisa berusaha dan bekerja di manapun tanpa ada halangan, yang penting dapat menghadapi lawannya secara kompetitif. Suatu hal yang sering dihadapi dalam situasi semacam ini adalah timbulnya sengketa. Sengketa merupakan suatu hal yang sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa sengketa mulai dikenal sejak adanya manusia, di mana ada kehidupan manusia di situ ada sengketa. Oleh karena itu, sengketa tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari sengketa ini dapat berwujud sengketa antara sesama rekan bisnis, antarkeluarga, antarteman, antara suami dan istri, dan sebagainya. Sengketa yang timbul dalam kehidupan manusia ini perlu untuk diselesaikan. Masalahnya, siapa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut? Cara yang paling mudah dan sederhana adalah para pihak yang bersengketa menyelesaikan sendiri sengketa tersebut. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menyelesaikan sengketa tersebut melalui forum yang pekerjaannya atau tugasnya memang menyelesaikan sengketa. Forum resmi untuk menyelesaiakan sengketa yang disediakan oleh negara adalah “Pengadilan”, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah “Arbitrase”. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan sering disebut juga dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).


1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa dengan jalan Nonlitigasi?
1.2.2        Bagaimanakah alternative penyelesaian sengketa di dalam pengadilan?
1.2.3 Bagaimanakah cara penyelesaian sengketa dengan jalan litigasi?

1.3  Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui cara penyelesaian masalah diluar pengadilan (Nonklitigasi)
1.3.2        Untuk mengetahui alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan.
1.3.3        Untuk mengetahui cara penyelesaian masalah di dalam pengadilan (Litigasi)

1.4  Manfaat
Kita sebagia masayarakat dengan di liputi dengan masalah, seperti kita ketahui dimana ada manusia disitu pasti ada suatu  sengketa. Manfaat mempelajari nonlitigasi dan litigasi yaitu dapat mengetahu dan memahami mengenai penyelessaian masalah diluar pengadilan dan didalam pengadilan. Jadi dengan mempelajari hal tersebut jika kita didalam kehidupan bermasyarakat menemukan suatu sengketa dapat mamahami jalan apa yang harus ditempuh dalam menyelesaikan sengketa tersebut.












BAB II
PEMBAHASAN


2.1 PENYELESAIAN SENGKETA DILUAR PENGADILAN (NONLITIGASI)

  1. Pengertian Nonligitasi
Ligitasi dalam bahasa inggris artinya pengadilan. Jadi nonligitasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagai bahan banding ligitation(pengadilan), sebagaian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan atas sengketa warisan, perbuatan melawan hukum dan lain-lain dan sebagian kecil tugasnya tugasnya adalah penangkalan sengketa dengan penjatuhan penetapan pengadilan misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat, dan lain-lain. Nonlitigasi sebagai kebaliakan dari litigasi tugasnya (argumentum analogium) adalah untuk penyeleasian masalah diluar pengadilan (tentram damai) dan sebagaian kecil tugasnya penangkalan sengketa dengan perencangan-perrancangan kontrak yang baik. Artinya bahwa semua sengketa yang dapat di selesaikan tanpa melalui pengadilan atau penangkalan sengketa yang dapat dilakukan dengan ikatan hukum tanpa melalui pengadilan adalah keterampilan nonligitasi. Penyelesaian sengketa atau penangkalan secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diseleesaikan secara hukum. Perlu di ketahui bahwa,  hukum  bukan satu-satunya bentuk penyelesaian sengketa. Terkadang dapat bahkan tidak jarang berbagai sengketa dapat diselesaikan dengan cara lain. Dalam hal ini penagihan hutang dapat di golongkan kepada penyelesaian masalah secara nolitigasi, karena penyelesaian masalah seperti itu tidak didasarkan pada hukum. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaiian masalah diluar  pengadilan yang didasarkan pada hukum, dengan penyelesaian tersebut dapat digolongkan kepada penyelesaian yang berkualitas tinggi, karena sengketa dapat selesai tuntas tanpa menninggalkan sisa kebencian dan dendam.
Orang dapat saja menyelesaikan masalah premanisme dan premanisme memperkosa nurani sehingga luka nurani menyisakan dendam, sebagai persoalan dapat berpihak-pihak persoalan   yang didalamnya tidak mustahil bayak berisi sengketa hukum baru. Pembalasan dengan kekerasan  yang dilakukan oleh seseorang yang dipremanisme dapat menimbulkan perkelahian, pembunuhan, pemerkosaan yang merupakan sengketa hukum baru yang harus deselesaikan dengan hukum. Penyelesaian sengketa hukum secara nonlitigasi denagn cara-cara penerapan hukum dengan meyakiankan kepada para pihak bahwa hukum itun adalah cara paling bermoral dalam penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian yang dapat menuntaskan sengketa tanpa menyeksa dendam yang apat menimbulkan nkekacauan dalam masyarakat. Dengan demikian, penyelesaian sengketa denagn nonlitigasi, menyelesaikan masalah hukum, secra hukum dan nurani, sehingga disitu hukum dapat di menangkan  dan nurani orang juga tunduk untuk menaati kesepakatan atau perdamaian secara sukarela, tanpa ada merasa kalah.  Aplikator nonlitigasi harus selalu meningkatkan kepada para pihak yang membuat perjanjian dalam menyelesaikan masalahnya bahwa perjanjian harus dilaksanakan secar konsikuen oleh para pihak, jika tidak dilakukan demikian maka perjanjian itu menjadi batal, atau masalah menimbulkan sengketa dan bukan menyelesaikan sengketa. Maka perdamaian diluar pangadilan yang lebih di tekankan yaitu bagaimana sengketa hukum dapat diselesaikan dengan cara perdamaian dan diluar pangadilan dan perdamaian itu mempunyai kekuatan untuk dijalankan. Bagaimanapun juga perdamaian diluar pengadilan  adalah suatu perjanjian yang apabila dijalankan  secara serta-merta maka persoalan yang di damaikan menjadi selesai, sedangkan jika tidak dijalankan secara serta-merta maka perdamaian itu merupakan perjanjian yang akan dilaksanakan di kemudian hari. Persoalannya jika perdamaian dilakukan di kemudian hari, oleh salah satu pihak atau kedua pihak tiadak mau menjalankan, maka perdamaian itu menjadi tanpa makna dalam pelaksanaannya secara nonlitigasi, tetapi jika para pihak akan membawa ke litigasi, maka perdamaian itu menjadi bukti kepada para pihak sebagain Undang-Undang (1338 KUH perdata). Hakim yang menangani perkara perdamaian diluar pengadilan yang tidsk dijalankan akan  berpedoman kepada isi perdamaian itu dalam mengadili perkaranya. Dengan demikian pbentuk penyelesaian sengketa secara nonlitigasnatau diluar pengadilan adalah kesepakatan tertulis, isinya perdamaian yang mungkin di laksanakan seketika setealh perdamaian dicapai atau pula menunggu waktu untuk dilaksanakan pada saatnya. Selain itu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan dengan Arbitrase.


2.2  BERBAGAI ALTERNATIF  PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN.

1. Konsultasi
Meskipun konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, namun tidak ada satu pasalpun yang menjelaskannya. Dengan mengutif Black’s law Dictionary, Gunawan dan Widjaya dan Ahmad Yani7) menguraikan bahwa pada prinsipnya Konsultasi merupakan tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan  konsultasi”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang mengharuskan si klien mengikuti pendapat yang disampaikan konsultan. Jadi hal ini konsultan hanyalah memberikan pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh para pihak meskipun adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2. Negosiasi dan Perdamaian 
Menurut pasal 6 ayat 2 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 pada dasarnya para pihak dapat berhak untuk menyelesaiakan sendiri sengketa yang timbul di antara mereka. Kesepakatan mengenai penyelesaian tersebut selanjutnya harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang disetujui oleh para pihak. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan mana harus dibuat secara tertulis dengan ancaman tidak sah. Namaun ada beberapa hal yang membedakan, yaitu: Pada negosiasi diberikan tenggang waktu penyelesaian paling lama 14 hari, dan Penyelesaian sengketa tersebut harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa. Perbedaan lain adalah bahwa negosiasi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan pengadilan dilakukan maupun setelah sidang peradilan dilaksanakan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

3. Mediasi
Berdasarkan pasal 6 ayat 3 Undang Undang Nomor 39 tahun 1999, atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan “seorang atu lebih penasehat ahli” maupun melalui seorang mediator. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah pinal dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik,. Kesepakatan tertulis wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilakasanakan dalam waktu lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.Mediator dapat dibedakan:
                   mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak
        mediator yang ditujuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

4. Konsiliasi dan perdamaian
Seperti pranata alternatif penyelesaian sengketa yang telah diuraikan di atas, konsiliasipun tidak dirumuskan secara jelas dalam Undang Undang nomor 30 tahun 1999 sebagai suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakan proses legitasi, melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berjalan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.8)

5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Pasal 52 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari pengertian tentang Lembaga Arbitrase yang di berikan dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang nomor 30 tahun 1999: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.” Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.


6. Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak laku lagi dengan diundangkannya Undang Undang nomor 30 tahun 1999. Dalam Undang Undang nomor 14 tahun 1970 (tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang antara lain menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui artibrase tetap dipebolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari Pengadilan. Menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjain tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) atau Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis). Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut pasal 5 ayat 1 Undang Undang nomor 30 tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.  Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu ayat 5 (2) nya memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. Dalam penjelasan umum Undang Undang nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.\


Keunggulan itu adalah:
dijamin kerahasiaan sengketa para pihak dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif para pihak dapat memilih arbiter yang menurut pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan Menurut Prof. Subekti9) bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa ia dilakukan:
• dengan cepat
• oleh ahli dari
• secara rahasia
Sementara itu HMN Purwosutjipto10) mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
• Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
• Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan   mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
• Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
• Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.







2.2      PENYELESAIAN SENGKETA DI DALAM PENAGADILAN (LIGITASI)

v  PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN
1.      Penetapan sidang dan pemanggilan pihak-pihak

Setelah gugatan diajukan dan didaftarkan oleh panitera dalm suatu daftar, maka ketua pengadilan negeri yang bersangkutan memeriksa perkara tersebut, menetapkan hari persidangan dan memnaggil kedua pihak supaya hadir pada persidangan yang telah ditetapkan. Kedua belah pihak hadir dengan saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa dan membawa segala surat keterangan yang akan dipergunakan (pasal 121 ayat (1) HIR/145RBg).
Pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan menyerahkan surat panggilan. Dalam melakukan pemanggilan tersebut, jurusita atau jurusita pengganti harus bertemu dengan yang di panggil di rumahnya dengan bertemu secra langsung tetapi jika tidak dapat bertemu secara langsung jurusita dapat memberikan surat pemanggilan kepada kepala desa setempat (pasal 390 ayat (1) HIR/718 ayat (1) RBg). Kalau tergugat sudah meninggal dunia maka surat panggilan disampaikan kepada ahli warisnya dan apabila ahli warisnya tidak diketahui maka surat panggilan dapat disampaikan kepada kepala desa kembali di tempat terakhir tergugat yang meninggal dunia. Setelah melakukan panggilan,  jurusita harus menyerahkan risalah(relas) panggilan kepada hakim yang akan memeriksa perkara, yang merupakan bukti bahwa panggilan benar-benar telah dilakukan. Hal ini sangat penting bagi hakim karena apabila pihak-pihak yang dipanggil secara patut dan kemudian dengan alasan yang tidak sah tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menjatuhkan putusan (karena ketidakhadiaran pihak tergugat maupun penggugat)

2.      Sita jaminan
Sita jaminan merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan pengadilan di dalam perkara perdata di kemudian hari. Sebab dengan dilakukan sita jaminan terhadap sesuatu barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak, maka barang tersebut disimpan untuk jaminan dan tidak boleh dijual belikan, dibebani, maupun disewakan oleh orang yang tersita (tergugat)  kepada orang lain (pasal 199 HIR/214 RBg). Apabila ini dilanggar maka dapat dikatakan sebagai tindak pidana (pasal 231 KUH Pidana) Permohonan penyitaan dalam praktek lazimnya diajukan penggugat dalam surat gugatan bersama-sama dengan tuntutan pokok. Penyitaan dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti sebagai pelaksana perintah yang dituangkan dalam ketetapan yang dibuat Ketua Pengadialn Negeri. Jurusita wajib membuat surat berita acara penyitaan yang telah dilaksanakan dan memberitahukan isinya kepada tergugat (tersita). Dalam penyitaan tersebut jurusita dibantu oleh dua orang saksi yang turut dalam menandatangani berita acara (pasal 65 UU No. 2/1986) Permohonan penyitaan dari penggugat memang tidak selalu dikabulkan kecuali permohonan tersebut mamng benar-benar beralaskan menurut hokum, bilamana permohonan penyitaan dikabulkan dan kemudian gugatan penggugat dikabulkan oleh pengadilan maka sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan dinytakan sahdan berharga dalam putusan. akan tetapi bilamana kemudian ternyata gugatan penggugat ditolak, maka sita jaminan tersebut diperintahkan untuk segera dicabut (pasal 227 ayat (4) hir/261 ayat (6) rbg).

3  Putusan karena tidak hadir pada sidang pertama
Apabila pada siding yang telah ditentukan ternyata penggugat tidak hadir tanpa alasan yang tidak dapt dibenarkan dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir, maka hakim dapat menjatuhkan putusan menggugurkan gugatan dan menghukum penggugat membayat bisys perkara (pasal 124 HIR/148 RBg). Namun hakim dapat pula member toleransi yaitu memerintah jurusita untuk memanggil sekali lagi tergugat tersebut (pasal 126 HIR/150 Rbg).
Gugatan melawan hokum artinya gugatan itu bertentangan dengan hokum atau tidak berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan tidak membenarkan tuntutan (Pentium). Misalnya A menggugat B agar membayar utangnya karena kalah dalam suatu perjudian. Gugatan A terhadap B ini bertentangan dengan hokum, kerena peristiwa yang menjadi dasar gugatannya tersebut adalah perjudian tidak membenarkan tuntutannya (pasal 1788 BW), karenanya gugatan A  tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Juga dikatakan bertentangan dengan peraturan hokum bilamana kedudukan penggugat tidak dibenarkan menyajukan gugatan. Misalnya seorang anak yang belum dewasa mengajukan gugatan di pengadilan, sebab menurut peraturan hokum, seorang anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hokum,dalam hal ini mengajukan gugatan dipengadilan. Putusan yang menyataklan putusan tidak dapat diterima dimaksudkan sebabgai penolakan diluar pokok perkara. Sedangkan putusan yang menyatakan gugatan ditolak merupakan putusan setelah mempertimbangkan mengenai pokok perkara, jadi diantar putusan tersebutb mempunyai perbedaan yang besar dan konsekuensi yang berlainan. Dalam putusan verstek gugatan penggugat tidak selalu dikabulkan oleh pengadilan negeri, yaitu apabila gugatan penggugat melawan hokum atatu tidak beralaskan, sehingga meskipun tergugat tidak hadir dalam persidangan tidak selalu dikalahkan.
Apabila ternyata putusan verstek mengabulkan gugatan penggugat. Maka putusan tersebut harus diberitahukan kepada tergugat bersangkutan serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verset) terhadap putusan versyek itu kepada pengadilan negeri yang memeriksa perkara tersebut. Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah pemberiyahuan diterima tergugat pribadi.  Perlawanan (verset) terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan gugatan biasa. Tergugat yang mengajukan perlawanan disebut pelawan sedangkan penggugat disebut terlawan. Pemeriksaaan terhadap putusan perkara perlawanan sama seperti perkara biasa, dengan adanya perlawqanan ini eksekusi ditangguhkan, kecuali putusan verstek itu dapat dijatuhkan dengan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu. Jika dalam acara perlawanan penggugat tidak datang dalam persidangan yang ditentukan, maka hakim dapat memerintahkan jurusita untuk memanggilnya kembali untuk menghadiri persidangan yang berikutnya dan apabila penggugat tidak juga datang maka perkara akan diperiksa dan diputus secara contradictoir. Dengan membatalkan putusan verstek semula serta mengadili lagi dengan menolak gugatan penggugat semula.
4. Perubahan dan pencabutan gugatan
Masalah perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR maupun RBg, akan tetapi diatur dalan Rv yang berlaku bagi golangan eropah pada Raad van justitie dulu. Dalam pasal 127 Rv ditentukan bahwa perubahan gugatan sepanjang pemeriksaan diperbolehkan, asal tidak mengubah dan menambah onderwerp van den eis (pentitum-tuntuan pokok). Akan tetapi didalam praktek pengertian onderwerp van den eis meliputi juga dasar dari tuntutan (posita),termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jadi yang tidak boleh dirubah adalah dasar tuntutan dan menambah tuntutan.
Meskipun HIR dan RBg tidak mengatur mengenai soal perubahan gugatan atau penambahan gugatan, namun tidak berarti perubahan gugatan tidak diperbolehkan. Hakimlah yang menentukan sampai dimana perubahan gugatan diperbolehkan. Dalam putusan tanggal 6 maret 1971 No. 209 K/Sip/1970 Mahkamah Agung menyatakan, bahwa perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan dengan asas-asas hokum acara perdata, asal tidak mengubah dan menyimpang dari kejadian material walaupun tidak ada tuntutan subsidair: untuk peradilan yang adil. Seperti halnya perubahan gugatan tidak ada diatur dalam HIR maupun RBg, maka tentang pencabutan gugatan juga tidak ada diatur dalam  HIR dan maupun RBg. Pencabutan gugatan hanya diatur dalam Rv pada pasal 271, yang menentukan bahwa gugatan boleh dicabut oleh penggugat sebelum tergugatmemberikan jawaban. Bilaman tergugat sudah memberikan jawaban, maka gugatan tidak dapat dicabut atau ditarik kembali oleh penggugat kecuali disetujui oleh penggugat. Tujuan dari ketentuan pasal 271 Rv ini adalah untuk menjaga kepentingan tergugat jangan sampai dirugikan.
Pencabutan gugatan sebelum tergugat memberikan jawaban seringkali terjadi atas saran ketua pengadilan negeri karena ada kekeliruan dalam menyusun gugtan tersebut. Sedangkan pencabutan gugatan sesudah tergugat memberikan jawaban, sering kali terjadi karena tuntutan penggugat telah dipenuhi tergugat secara suka rela. Penggugat yang mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban, dapat mengajukan gugatannya kembali. Sedangkan penggugat yang mencabut gugatannya sesudah tergugat memberikan jawaban, tidak dapat lagi mengajukan gugatannya, karena dengan pencabutan gugatan itu penggugat dianggap telah melepaskan haknya.

5. Perdamaian di depan sidang pengadilan
Apabila pada hari yang telah ditentuakn pihak-pihak ynag berperkara hadir di persidangan, maka menurut pasal 130 ayat (1) HIR/154 ayat (1) RGb, hakim diwajibkannuntuk mengusahakan perdamaian diantara mereka. Dengan adanya ketentuan tersebut hakim mempunyai peranan yang aktif untuk mengusahakan penyelesaian secara damai terhadap perkara yang diperiksanya, menanamkan kesadaran dan keyakinan pihak-pihak yang erperkarabahwa npenyelesaian perkara dengan perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana daripoada diselesaikan dengan putusan peradilan. Baik dipandang dari segi hubungan masayrakat dan dari segi hubungan waktu, b iaya dan teanaga yang digunakan. Apabila tercapai perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara tersebut, yang biasanya dituangkan dalam perjanjian di bawah tangan, maka berdasarkan perdamaian tersebut hakim menjatuhkan putusan (acte van vergelijk) yang isinya menghukum pihak-pihak yang berperkara untuk melakukan isi perdamaian tersebut. Dengan adanya perdamaian diantara pihak-pihak yang berperkara maka perkara tersebut dianggap tuntas, sebab putusan perdamaian nyang disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara dan disahkan oleh hakim mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan dan mempunyai kekuatan hokum yang tetap (pasal 130 ayat (2) HIR/154 ayat (2) Rbg/ 1858 ayat (1) BW jo. MA, tgl 1-8-1973 No. 1038 K/sip/1972)

6.  Eksepsi, jawaban dan rekonpensi
Oleh karena perkara perdata menyangkut kepentingan pribadi pihak-pihak yang berperkara, maka dalam undang-undang tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Akan tetapi apabila tergugat tidak memberikan jawaban apa pun terhadap gugatan penggugat, maka ia harus menyadari bahwa ia harus memikul segala akibat dari sikapnya yang demikian itu, yang memungkinkan sekali dikalahkan.  Jawaban tergugat dapat berupa pengakuan dan dapat pula berupa bantahan atau penyangkalan. Pengakuan berarti membenarkan isi gugatan penggugat baik sebagian maupun keseluruhan. Sedangkan Bantahan atau penyangkalan berarti menolak atau tidak membenarkan isi gugatan penggugat. Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yaitu : (1) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut eksepsi (tangkisan) dan (2) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara. Eksepsi (tangkisan) dapat dibagi atas 2 macam yaitu eksepsi prosesual dan eksepsi material.  Eksepsi prosesual adalah eksepsi yang didasarkan pada hukum acara perdata. Termasuk dalam eksepsi ini misalnya eksepsi yang menyatakan hakim tidak berwenang memeriksa gugatan yang diajukan penggugat; eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang diajukan penggugat sudah pernah diputuskan oleh hakim, kemudian eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak  mempunyai kedudukan sebagai penggugat, dan lain sebagainya.
Eksepsi material adalah eksepsi yang didasarkan pada hukum perdata material. Termasuk dalam eksepsi ini antara lain adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan penggugat belum sampai waktunya untuk diajukan (dilatoire exceptie), jadi eksepsi yang bersifat menunda. Kemudian eksepsi yang bersifat menghalangi dikabulkannya gugatan penggugat (peremtoire exceptie), misalnya eksepsi yang menyatakan bahwa piutang yang dituntut oleh penggugat sudah hapus karena pembebasan, atau karena kompensasi pembayaran dan lain sebagainya.  Bilamana eksepsi ditolak atau dibenarkan, maka dalam putusan sela dinyatakan bahwa Penggadilan negeri yang bersangkutan berwenang memeriksa gugatan tersebut, dan dalam putusan itu sekalian diperintahkan agar para pihak yang berperkara melanjutkan perkaranya. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara, tidak harus diajukan bersama-sama dengan eksepsi pada permulaan sidang, akan tertapii selalu dapat dikemukakan selama proses pemeriksaan berjalan, bahkan dapat diajukan pada waktu pemeriksaan tingkat pertama. Pasal 136 HIR yang sama isinya dengan pasal 162 RBg tidak mengharuskan supaya pada permulaan sidang jawaban tergugat sudah mengenai pokok perkara dengan atau tidak dengan eksepsi.
7. Replik dan duplik
Setelah tergugat mengajukan jawaban, maka tahapan pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan Negeri selanjutnya adalah replik,yaitu jawaban penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan pleh penggugat untuk meneguhkan jika gugatan itu melawan hukum (onrechtmatige daad) atau tidak beralasan (ongegrond). Apabila gugatan penggugat melawan hukum atau tidak berdasarkan hukum, maka dalam putusan verstek gugatan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard). Kemudian apabila gugatan penggugat tidak beralasan, maka dalam putusan verstek gugatan tersebut harus dinyatakan ditolak (ontzegd). Gugatan melawan hukum artinya gugatan itu bertentangan dengan hukum atau tidak berdasarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan tidak membenarkan tuntutan (petitum). Misalnya A menggugat B agar membayar utangnya karena kalah dalam berjudi. Gugatan A terhadap B ini bertentangan dengan hukum,karena peristiwa yang menjadi dasar gugatannya yaitu perjudian tidak membenarkan tuntuntannya (pasal 1788 BW). Karenanya gugatan A tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Juga dikatakan bertentangan dengan peraturan hukum bilamana kedudukan penggugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan.  Gugatan tidak beralasan apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan, atau peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak ada hubungannya dengan tuntutan. Dengan kata lain peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan tidak terbukti secara sah menurut hukum. Misalnya A menggugat B supaya membayar harga barang yang dibelinya sebesar Rp. 1.000.000. Akan tetapi di persidangan, A tidak mengajukan hal yang memberikan gambaran atau membuktikan bahwa antara A dan B telah terjadi suat perjanjian jual-beli. Putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima dimaksudkan sebagai penolakan gugatan di luar pokok perkara. Sedangkan putusan yang menyatakan gugaran ditolak merupakan putusan setelah mempertimbangkan mengenai pokok perkara. Jadi antara kedua macam putusan itu  mempunyai perbedaan yang besar sekali dan konsekuensi yang berlainan.













BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Nonligitasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Sebagai bahan banding ligitation(pengadilan), sebagaian besar tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan atas sengketa warisan, perbuatan melawan hukum dan lain-lain dan sebagian kecil tugasnya tugasnya adalah penangkalan sengketa dengan penjatuhan penetapan pengadilan misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat, dan lain-lain. Nonlitigasi sebagai kebaliakan dari litigasi tugasnya (argumentum analogium) adalah untuk penyeleasian masalah diluar pengadilan (tentram damai) dan sebagaian kecil tugasnya penangkalan sengketa dengan perencangan-perrancangan kontrak yang baik. Berbagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan antara lain, konsultasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa tersebut dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, namun tidak ada satu pasalpun yang menjelaskannya. Negosiasi adalah mirip dengan perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 1851 s/d 1864 KUH Perdata, dimana perdamaian itu adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara. Pemanggilan pihak-pihak yang berperkara dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan menyerahkan surat panggilan. Dalam melakukan pemanggilan tersebut, jurusita atau jurusita pengganti harus bertemu dengan yang di panggil di rumahnya dengan bertemu secra langsung tetapi jika tidak dapat bertemu secara langsung jurusita dapat memberikan surat pemanggilan kepada kepala desa setempat (pasal 390 ayat (1) HIR/718 ayat (1) RBg.
3.2 Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan dalam penyusunan makalah ini yaitu:
  1. Bahawa setiap perkara yang terjadi diantara dua pihak atau lebih dapat juga di selesaikan diluar pengadilan dengan jalan negosiasi, kompromi, sebelum perkara itu diajukan kepengadilan.
  2. Apabial suatu perkara tidak dapat diselesaikan dengan jalan perdamaian (nonligitasi) perkara tersebut dapat diselesaikan dengan menempuh jalur hukum, sehingga menemukan keputusan yang benar-benar adil oelh pihak yang berperkara.




















DAFTAR PUSTAKA

Syahrini Riduan. 1988. Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Umum. Jakarta; Pustaka Kartini.
Wiryawan Wayan dan Artadi Ketut. 2009. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan. Udayana University press.
http://blogspot.com Peyelesaian sengketa.html